Assalamu'alaikum Wr.Wb , Welcome To My Simple Blog ♥

Minggu, 12 Mei 2013

Istilah Orde Lama dan Orde Baru

Orde baru, sebuah istilah untuk menyebutkan masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun, masih melekat kuat dalam ide-ide politik dan penulisan sejarah. Istilah ini pun masih seringkali dipergunakan oleh kaum pergerakan, dalam artikel-artikel mereka, selebaran, pernyataan politik, dan sebagainya.
Karena itu, tanpa disadari, proses penaklukan ide-ide berjalan terus dan berusaha memutus setiap harapan untuk keluar dari jebakan kesalahan penulisan sejarah. Ini adalah salah satu monumen penindasan rejim Soeharto yang masih berdiri kokoh, jarang digugat, dan kurang tersentuh perdebatan.

Kemunculan Istilah Orde Baru dan Orde Lama

Soeharto menggunakan istilah orde baru untuk kekuasaannya, sesuatu yang dibedakan dengan orde lama dan kerapkali ditimpakan kepada era-Soekarno. Orde baru, dalam kacamata rejim Soeharto, merupakan koreksi total terhadap penyimpangan orde lama, pemerintahan Soekarno.
Bagi Soeharto dan pendukungnya, Soekarno bukan hanya dekat dengan PKI, tetapi juga dianggap penyebab kemerosotan ekonomi sekalipun utang luar negerinya tidak mencapai 10 miliar USD, menyebarnya praktik korupsi, dan lain sebagainya. Sebaliknya, orde baru dianggap sangat baik, orde yang akan menjalankan pembangunan.
Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan dan siapa yang memunculkan label itu. Ada yang mengatakan, istilah Orde Baru lahir begitu saja pada saat maraknya aksi mahasiswa anti-Soekarno di awal tahun 1960-an. Namun, ada juga yang mengungkapkan, orde baru merupakan istilah yang diimpor dari luar negeri.
Berdasarkan referensi berbagai sumber, orde baru memang mengacu ke banyak hal, mulai dari nama group band di Inggris, nama album, nama koran kiri yang diasuh Antonio Gramsci, hingga strategi politik Nazi di tahun 1940-an.
Orde baru sendiri, dalam sejarah politik Indonesia, bukan Soeharto yang berkata pertama kali. Jauh sebelumnya, saat Soekarno menyampaikan amanat di HUT Kemerdekaan RI tahun 1962, dia sudah berbicara soal orde baru. Soekarno berkata, justru revolution reject yesterday! Revolusi membuang orde tua, diganti orde baru.
Jadi, bagi Soekarno, orde baru adalah hasil dari sebuah revolusi, hasil dari sebuah penghancuran tatanan lama dan pembangunan tatanan baru, atau yang sering disebut desktruksi dan konstruksi. Lahirnya orde baru Soeharto tidak melalui revolusi yang demikian itu, melainkan sebuah proses kudeta secara bertahap.

Soekarno Bukan Orde Lama

Soekarno VS Soeharto 3 Istilah Orde Lama dan Orde Baru
Ketika istilah orba dan orla mencuat di akhir 1966, Soekarno hanya menjawab; saya itu tidak tahu apa ini orde lama atau orde baru. Saya adalah, nah ini jawab saya, orde asli. Orde asli pokok tujuan sumber daripada revolusi.
Argumentasi di atas, kalau boleh ditafsirkan, menjelaskan sikap Soekarno yang enggan masuk dalam labelisasi orba dan orla. Sebagai seorang yang berpengetahuan luas, Soekarno sangat tahu kekacau-balauan label-label tersebut, dan ia berusaha menjelaskan pandangan tersendiri mengenai posisinya.
Soekarno berkata, sejarah akan membuktikan, bahwa politik yang aku jalankan adalah benar. Yang paling penting adalah membangun jiwa nasional, jiwa bangsa.
Kalau kita konsisten pada istilah orba sebagai tatanan baru, maka seharusnya memang perlu ada sebuah proses revolusi. Mustahil sebuah tatanan baru tanpa revolusi, apapaun cara dan bentuknya.
Soekarno mencintai suatu proses revolusi, dalam pengertian suatu perjuangan jangka panjang rakyat Indonesia untuk mencapai tujuan akhir; masyarakat tanpa penghisapan manusia atas manusia dan tidak ada penghisapan bangsa atas bangsa.
Ide dan praktik politiknya tidak hanya berlaku di dalam negeri, namun juga diperjuangkan dalam medan perang internasional.
Saat itu, dunia sedang berkecamuk dengan perjuangan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dia menjadi bagian dari konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, gagasan pertama soal dunia baru (multipolarisme). Ia membagi dunia dalam dua kubu; kubu lama (Oldefo) dan kubu baru (Nefo).
Nefo adalah embrio tatanan baru (orde baru-nya dunia). New Emerging Forces (NEFO) yang oleh Bung Karno dijabarkan dalam pidatonya, Genta Suara Revolusi (Gesuri, 1963), adalah: “satu kekuatan raksasa yang terdiri dari bangsa-bangsa dan golongan-golongan progresif yang hendak membangun satu Dunia Baru yang penuh dengan keadilan dan persahabatan antar-bangsa…yang penuh dengan perdamaian dan kesejahteraan…tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l’homme par l’homme et de nation par nation.
Di dalam negeri, Soekarno sangat menyadari, merdekanya suatu bangsa jajahan mengisyarakatkan adanya penghancuran rantai-rantai politik, belenggu-belengu ekonomi, dan hukum-hukum penjajahan kolonial. Untuk itu, di mata Soekarno, kemerdekaan politik hanyalah jembatan emas dalam menuntaskan perjuangan nasional.
Tidak hanya itu, Soekarno menjelaskan bahwa fase revolusi nasional hanya tahapan untuk revolusi selanjutnya, revolusi sosial. Namun, Soekarno menekankan penuntasan revolusi nasional sebagai syarat mutlak sebelum fase revolusi sosial, atau sering dinamakan revolusi panca-muka.
Jangankan masyarakat yang berkesejahteraan sosial, menyusun masyarakat normal saja tak mungkin, sebelum selesainya tugas nasional, demikian dikatakan Bung Karno.
Sangat jelas, Soekarno ingin membangun Indonesia baru yang merdeka, adil dan makmur, tidak hanya sebagai antitesa terhadap masyarakat kolonial, tapi sebagai kehendak bersama seluruh rakyat Indonesia (marhaen). Suatu susunan masyarakat baru yang dinamainya dengan sosialisme Indonesia.

Soeharto Menandai Rekolonialisme

Soekarno VS Soeharto 2 Istilah Orde Lama dan Orde Baru
Soeharto berkuasa setelah mendepak Bung Karno, berarti telah menghentikan revolusi itu sendiri. Konsekuensi dari menjatuhkan Soekarno tidak saja berarti berakhirnya revolusi, berakhirnya nation dan character building, tapi lebih jauh disertai penghancuran dan pembersihan tenaga-tenaga anti-imperialis dan anti-kolonialis.
Dalam November 1967, setelah golongan Soekarnois dan PKI benar-benar telah dilumpuhkan, orang-orang Soeharto telah bertemu dengan para kapitalis terbesar dan paling berkuasa di dunia, seperti David Rockefeller, di Jenewa, Swiss.
Hadir dalam pertemuan tersebut raksasa-raksasa korporasi barat, diantaranya General Motor, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemen, Goodyear, The International Paper Corporation, dll.
Dalam dua hari pertemuan saja, sejumlah asset dan sumber daya alam strategis seperti hutan, emas, batu-bara, minyak bumi, dsb, telah dibagi-bagi diantara konsorsium korporasi asing itu.
Sebagai bonus tambahan, pemerintah Indonesia telah bersedia mengundangkan UU nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang begitu ramah dan baik hati terhadap perampokan sumber daya tersebut. Ini merupakan tahap awal dari proses rekolonialisme di Indonesia.
Ketika Soeharto berkuasa, proses nation and character building digantikan dengan indoktrinasi dan pemaksaan kekerasan. Nasionalisme juga sudah diubah menjadi lebih chauvinis, dan disebarkan ke dalam sumsung tulang dan sanubari bangsa Indonesia. Kesukarelaan digantikan dengan todongan senjata. Tidak mengherankan, masa pemerintahan Soeharto sangat gelap karena berbagai tindakan pelanggaran HAM.
Tidak berhenti di situ, Soeharto juga mempraktekkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang tiada taranya, hingga mewariskan struktur politik paling korup di dunia hingga hari ini. Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah diperkirakan 15-35 miliar USD, terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah.
Kalian tentu sudah sangat fasih untuk menghafal dosa-dosa Soeharto di masa lalu, sehingga saya tidak perlu berpanjang lebar untuk mengulang-ulang di sini. Tetapi, pada intinya orde baru ala Soeharto, mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer, adalah orde paling tua di dunia.

Istilah Orde Baru dan De-Soekarnoisasi

Penggunaan istilah orde baru adalah bagian dari de-soekarnoisme, sebuah proyek untuk menggusur nama besar dan pemikiran Bung Karno dari panggung sejarah perjuangan nasional di Indonesia.
Selain istilah orde baru, Soeharto juga masih mengadopsi istilah-istilah progressif di masa itu untuk memberi cap progressif pada aksi-aksi dan tindakannya, misalnya pahlawan revolusi, kesaktian pancasila, dan sebagainya.
Ada beberapa pertimbangan, menurut saya, yang membuat Soeharto harus melakukan hal-hal semacam ini; pertama, sangat sulit untuk menggusur ide-ide dan jiwa progressif rakyat Indonesia saat itu, yang telah dibangun sejak perjuangan anti-kolonial hingga puncaknya di tahun 1960-an, hanya dalam waktu singkat.
Kedua, sangat sulit bagi siapapun untuk menggusur dan menggantikan Soekarno sebagai simbol dari perjuangan nasional, termasuk kharisma dan perannya sebagai bagian terkemuka perjuangan pembebasan.
Segera setelah PKI dihancurkan dan kekuatan pendukung Soekarno dilumpuhkan, maka proses de-sukarnoisasi segera menyebar seperti penyakit menular. Soeharto, dengan bersikap tangan besi, mulai mengurangi aktivitas berpidato Bung Karno, melarang ajaran-ajaran beliu, dan bahkan mengucilkannya dari kehidupan politik.
Pada bulan Juli 1967, para panglima Kodam se-Jawa telah berkumpul dan membuat deklarasi yang dikenal dengan istilah tekad jogja, yaitu tekad para panglima Kodam se-jawa untuk menjalankan de-sukarnoisasi.
Pernah, dalam tahun 1984, ketika Nugroho Notosusanto menerbitkan buku pejuang dan prajurit, wajah Bung Karno tidak nampak dalam gambar pengibaran bendera merah putih saat proklamasi 17 Agustus 1945. Ini sangat ironis, seorang proklamator kemerdekaan bangsa, justru hendak dihapus dari buku-buku sejarah.
Kini, setelah banjir bah de-sukarnoisasi menyapu kesadaran rakyat selama puluhan tahun, perjuangan untuk mengembalikan ingatan menjadi sangat penting.
Sejarah penting disusun ulang, tidak perlu menunggu inisiatif negara dan elit politik. Dalam proses itu, saya menganggap penting untuk mulai menghapus istilah-istilah salah kaprah Soeharto seperti orde baru, kesaktian pancasila, pahlawan revolusi, dsb, dan memberinya label yang tepat.
Karena itu, masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun jangan lagi disebut orde baru, karena Soeharto tidak membangun tatanan baru atau susunan masyarakat baru, malahan mengembalikan kolonialisme. Demikian pula dengan sebutan orde lama, harus disingkirkan jauh-jauh dari keidentikan dengan Soekarno.
Saya menganjurkan, kita sebaiknya menyebut masa pemerintahan Soeharto dengan rejim Soeharto saja atau rejim militeristik. Kata orde pembangunan pun harus dibuang jauh-jauh. Kita lebih pantas menyebutnya dengan orde national and character destruction. Kalau ditaruh dalam fase perjuangan bangsa Indonesia, maka masa pemerintahan Soeharto dapat dikatakan sebagai era kembalinya kolonialisme barat (rekolonialisme).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar